Mendampingi Desa, Memberdayakan Desa

Desa yang maju, kuat, mandiri, demokratis dan sejahtera merupakan imajinasi tentang desa baru yang ditegaskan oleh UU Desa, sebagai arah perubahan desa yang berkelanjutan di masa depan. Perubahan desa memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit.

Kita bisa berguru dengan pengalaman lokal. Dari hari ke hari selalu hadir desa inovatif, desa yang berubah, sesuai dengan semangat UU Desa. Perubahan desa itu terjadi karena pembelajaran, pengorganisasian maupun pendampingan. Pendampingan menjadi modalitas penting bagi perubahan desa. UU No. 6/2014 telah memberikan amanat pemberdayaan melalui pendampingan desa.

Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi No.3/2015 menegaskan bahwa pendampingan desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa. Sedangkan tujuan pendampingan desa meliputi:

  1. Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa;
  2. Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif;
  3. Meningkatkan sinergi program pembangunan Desa antarsektor; dan
  4. Mengoptimalkan aset lokal desa secara emansipatoris.
Pendampingan desa mencakup pengembangan kapasitas teknokratis dan pendidikan politik. Kapasitas teknokratis mencakup pengembangan pengetahuan dan keterampilan terhadap para pelaku desa dalam hal pengelolaan perencanaan, penganggaran, keuangan, administrasi, sistem informasi dan sebagainya. Pendidikan politik berorientasi pada penguatan active and critical citizen, yakni warga yang aktif, kritis, peduli, berdaulat dan bermartabat.

Hal ini antara lain merupakan kaderisasi yang melahirkan kader-kader lokal militan sebagai penggerak pembangunan desa dan demokratisasi. Kaderisasi tidak identik dengan pendidikan dan pelatihan, namun juga membuka ruang-ruang publik politik dan mengakses pada forum musyawarah desa, yang membicarakan dan memperjuangkan kepentingan warga. Kepemimpinan lokal yang berbasis masyarakat, demokratis dan visioner bisa dilahirkan melalui kaderisasi ini, sekaligus emansipasi para kader dalam kehidupan berdesa.

Pendampingan tidak boleh bersifat apolitik, tetapi harus berorientasi politik. Pendampingan apolitik hadir dalam bentuk pengembangan kapasitas teknokratis dalam pembangunan desa, termasuk pembentukan keterampilan berusaha, tanpa menyentuh penguatan tradisi berdesa dan penguatan kekuasaan, hak dan kepentingan warga. Kapasitas teknokratis sangat penting tetapi tidak cukup untuk memperkuat desa. Karena itu pendampingan harus bersifat politik. Politik dalam konteks ini bukan dalam pengertian perebutan kekuasaan, melainkan penguatan pengetahuan dan kesadaran akan hak, kepentingan dan kekuasaan mereka, dan organisasi mereka merupakan kekuatan representasi politik untuk berkontestasi mengakses arena dan sumberdaya desa. Pendekatan pendampingan yang berorientasi politik ini akan memperkuat kuasa rakyat sekaligus membuat sistem desa menjadi lebih demokratis.

Para pendamping bukan hanya memfasilitasi pembelajaran dan pengembangan kapasitas, tetapi juga mengisi “ruang-ruang kosong” baik secara vertikal maupun horizontal. Mengisi ruang kosong identik dengan membangun “jembatan sosial” (social bridging) dan jembatan politik (political bridging). Pada ranah desa, ruang kosong vertikal adalah kekosongan interaksi dinamis (disengagement) antara warga, pemerintah desa dan lembaga-lembaga desa lainnya.

Pada ranah yang lebih luas, ruang kosong vertikal adalah kekosongan interaksi antara desa dengan pemerintah supra desa. Karena itu pendamping adalah aktor yang membangun jembatan atau memfasilitasi engagement baik antara warga dengan lembaga-lembaga desa maupun pemerintah desa, agar bangunan desa yang kolektif, inklusif dan demokratis. Engagement antara desa dengan supradesa juga perlu dibangun untuk memperkuat akses desa ke atas, sekaligus memperkuat kemandirian dan kedaulatan desa.

Ruang kosong horizontal biasanya berbentuk densitas sosial yang terlalu jauh antara kelompok-kelompok masyarakat yang terikat (social bonding) berdasarkan jalinan parokhial (agama, suku, kekerabatan, golongan dan sebagainya). Ikatan sosial berbasis parokhial ini umumnya melemahkan kohesivitas sosial (bermasyarakat), mengurangi perhatian warga pada isu-isu publik, dan melemahkan tradisi berdesa. Karena itu ruang kosong horizontal itu perlu dirajut oleh para pendamping agar tradisi berdesa bisa tumbuh dan desa bisa bertenaga secara sosial.

Tulisan ini disadur dari buku; Regulasi Baru, Desa Baru - Ide, Misi, dan Semangat UU Desa.
(Diterbitkan oleh: KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar